Rabu, 15 Oktober 2008
editorial
Kisah di bawah ini adalah kisah yang saya dapat dari milis alumni Jerman,atau warga Indonesia yg bermukim atau pernah bermukim di sana . Demikianlayak untuk dibaca beberapa menit, dan direnungkan seumur hidup.
Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliahsaya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosensangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orangmemilikinya.
Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama “Smiling.”Seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar dan memberikan senyumnya kepadatiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka.Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan didepan kelas. Sayaadalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu tersenyum padasetiap orang. Jadi, saya pikir,tugas ini sangatlah mudah.
Setelah menerima tugas tsb, saya bergegas menemui suami saya dan anakbungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi kerestoranMcDonald’s yang berada di sekitar kampus. Pagi itu udaranya sangat dingindan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela danmeminta agar dia saja yang menemani si Bungsu sambil mencari tempat dudukyang masih kosong.
Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiaporang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semulaantri dibelakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.
Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihatmengapa mereka semua pada menyingkir ? Saat berbalik itulah saya membauisuatu “bau badan kotor” yang cukup menyengat, ternyata tepat di belakangsaya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil! Saya bingung, dantidak mampu bergerak sama sekali.
Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebihpendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang “tersenyum”kearah saya.Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga memancarkan kasihsayang. Ia menatap kearah saya, seolah ia meminta agar saya dapat menerima‘kehadirannya’ ditempat itu.
Ia menyapa “Good day!” sambil tetap tersenyum dan sembari menghitungbeberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan.Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh saya‘tugas’ yang diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang memainkantangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya. Saya segeramenyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelakidengan mata biru itu adalah “penolong”nya. Saya merasa sangat prihatinsetelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal sayabersama mereka,dan kami bertiga tiba2 saja sudah sampai didepan counter.
Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin sayapesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan. Lelakibermata biru segera memesan “Kopi saja, satu cangkir Nona.” Ternyata darikoin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka (sudahmenjadi aturan direstoran disini, jika ingin duduk di dalam restoran danmenghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu). Dan tampaknya keduaorang ini hanya ingin menghangatkan badan.
Tiba2 saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpakubeberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempatduduk yang jauh terpisah dari tamu2 lainnya, yang hampir semuanya sedangmengamati mereka. Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa saatitu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya, dan pastijuga melihat semua ‘tindakan’ saya.
Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketigakalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan mintadiberikan dua paket makan pagi (diluar pesanan saya) dalam nampan terpisah.
Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada dicounter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja/tempat duduksuami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya berjalanmelingkari sudut kearah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untukberistirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, danmeletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bematabiru itu, sambil saya berucap “makanan ini telah saya pesan untuk kalianberdua.”
Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basahber-kaca2 dan dia hanya mampu berkata “Terima kasih banyak, nyonya.”Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya berkata“Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan juga beradadi sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ketelinga saya untukmenyampaikan makanan ini kepada kalian.”
Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluklelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedualelaki itu.
Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkanmereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempatduduk mereka. Ketika saya duduk suami saya mencoba meredakan tangis sayasambil tersenyum dan berkata “Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkandirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan ‘keteduhan’ bagi dirikudan anak-2ku! ” Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itukami benar2 bersyukur dan menyadari,bahwa hanya karena ‘bisikanNYA’ lah kamitelah mampu memanfaatkan ‘kesempatan’ untuk dapat berbuat sesuatu bagi oranglain yang sedang sangat membutuhkan.
Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akanmeninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satupersatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin ‘berjabat tangan’ dengankami.
Salah satu diantaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap“Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yangberada disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNYA, saya akanlakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami.”
Saya hanya bisa berucap “terimakasih” sambil tersenyum. Sebelum beranjakmeninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat kearah kedua lelaki itu,dan seolah ada ‘magnit’ yang menghubungkan bathin kami, mereka langsungmenoleh kearah kami sambil tersenyum, lalu melambai-2kan tangannya kearahkami. Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah sayalakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi, itu benar2 ‘tindakan’ yangtidak pernah terpikir oleh saya. Pengalaman hari itu menunjukkan kepada sayabetapa ‘kasih sayang’ Tuhan itu sangat HANGAT dan INDAH sekali!
Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan ‘cerita’ iniditangan saya. Saya menyerahkan ‘paper’ saya kepada dosen saya. Dan keesokanharinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas,ia melihat kepada saya dan berkata, “Bolehkah saya membagikan ceritamu inikepada yang lain?” dengan senang hati saya mengiyakan. Ketika akan memulaikuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan paper saya. Iamulai membaca, para siswapun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen,dan ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang dimiliki sangdosen dalam membawakan ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruangkuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian ituberlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang didekat sayadiantaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.
Diakhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanyadengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis diakhir paper saya .
“Tersenyumlah dengan ‘HATImu’, dan kau akan mengetahui betapa ‘dahsyat’dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu.”
Dengan caraNYA sendiri, Tuhan telah ‘menggunakan’ diri saya untuk menyentuhorang-orang yang ada di McDonald’s, suamiku, anakku, guruku, dan setiapsiswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Sayalulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah saya dapatkan di bangkukuliah manapun, yaitu: “PENERIMAAN TANPA SYARAT.”
Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi olehpara pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknaicerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana cara MENCINTAISESAMA, DENGAN MEMANFAATKAN SEDIKIT HARTA-BENDA YANG KITA MILIKI, danbukannya MENCINTAI HARTA-BENDA YANG BUKAN MILIK KITA, DENGAN MEMANFAATKANSESAMA!
Jika anda berpikir bahwa cerita ini telah menyentuh hati anda, teruskancerita ini kepada orang2 terdekat anda. Disini ada ‘malaikat’ yang akanmenyertai anda, agar setidaknya orang yang membaca cerita ini akan tergerakhatinya untuk bisa berbuat sesuatu (sekecil apapun) bagi sesama yang sedangmembutuhkan uluran tangannya!
Orang bijak mengatakan: Banyak orang yang datang dan pergi darikehidupanmu, tetapi hanya ’sahabat yang bijak’ yang akan meninggalkan JEJAKdi dalam hatimu.Untuk berinteraksi dengan dirimu, gunakan nalarmu. Tetapi untukberinteraksi dengan orang lain, gunakan HATImu! Orang yang kehilangan uang,akan kehilangan banyak, orang yang kehilangan teman, akan kehilangan lebihbanyak! Tapi orang yang kehilangan keyakinan, akan kehilangan semuanya!Tuhan menjamin akan memberikan kepada setiap hewan makanan bagi mereka,tetapi DIA tidak melemparkan makanan itu ke dalam sarang mereka, hewan itutetap harus BERIKHTIAR untuk bisa mendapatkannya.
Orang-orang muda yang ‘cantik’ adalah hasil kerja alam, tetapi orang-orangtua yang ‘cantik’ adalah hasil karya seni. Belajarlah dari PENGALAMANMEREKA, karena engkau tidak dapat hidup cukup lama untuk bisa mendapatkansemua itu dari pengalaman dirimu sendiri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar