Selasa, 16 Desember 2008

contoh iklan advertising Pr I


Ambient Advertising dan Fenomena Modernitas Dunia Barat
Oleh: Bambang Sukma Wijaya
Philip Kotler (2000: 3) mengatakan bahwa dunia pemasaran hanya dapat berkembang di negara-negara yang menganut sistem demokrasi dan ekonomi terbuka. Hal ini dikarenakan pasar yang ada di negara-negara tersebut membuka peluang kompetisi yang lebih kondusif. Sedangkan kompetisi pasar merupakan stimulus utama berkembangnya strategi-strategi dan kreativitas baru yang dibutuhkan dalam dunia pemasaran. Tak heran, perkembangan pesat dunia pemasaran atau marketing kebanyakan terjadi di negara-negara maju (Barat) yang telah lama menjalankan sistem demokrasi dan ekonomi pasar bebas, seperti negara Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa barat. Banyak merek-merek produk ternama lahir dari negara-negara tersebut seperti Nike, McDonalds, Mercedes Benz, VW, Nokia, dan lain-lain.
Merek-merek global tersebut tidak dibangun dalam sekejap, namun melalui suatu perjalanan panjang dengan strategi komunikasi pemasaran yang terarah. Salah satu bentuk komunikasi pemasaran paling populer adalah iklan. Tak dapat dipungkiri, bahwa periklanan dengan segala kreativitasnya yang menarik dan terkadang kontroversial telah memberi kontribusi besar bagi perkembangan ekonomi global. Iklan dapat memacu penjualan produk. Iklan dapat menstimulasi lesunya pasar. Iklan dapat mendongkrak image produk. Iklan dapat menciptakan gaya hidup baru. Bahkan iklan pun acap dituding sebagai agen propaganda konsumerisme. Sementara konsumerisme merupakan anak kandung dari kapitalisme yang lahir dari rahim modernitas Eropa dan dunia Barat.
Kapitalisme, sebagaimana teori sistem dunia Immanuel Wallerstein (1974) muncul sebagai sistem ekonomi dominan sejak awal abad ke-16 yang disebut Wallerstein sebagai tahap “ekonomi dunia”. Peran negara (pemerintah) sebagai badan pengatur dan kordinator aktivitas ekonomi mulai merosot dan digantikan oleh pasar.
Pada tahap ini, sistem kapitalis menunjukkan potensi ekspansi yang sangat besar. Dinamika internal untuk bergerak sendiri dan kemampuan menjaga agar suplai barang tetap melimpah menyebabkan sistem ini sangat menarik bagi segmen terbesar penduduk (Sztompka, 2007: 107).
Sistem ini pun mengendalikan kekuasaan politik dan militer sehingga memungkinkan untuk meluaskan kekuasaannya. Pembangunan transportasi, teknologi militer dan komunikasi mempercepat perkembangan sistem kapitalis ke seluruh dunia. Dampaknya pun terasa dengan lahirnya strata dan ketimpangan masyarakat dunia. Masyarakat dunia teriris menjadi tiga strata: inti, menengah atau semi pinggiran dan pinggiran. Sebutan populer untuk stratifikasi ini biasa disebut Dunia Pertama, Dunia Kedua dan Dunia Ketiga.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, kapitalisme berasal dari inti atau Dunia Pertama, yakni masyarakat Eropa barat, kemudian meluas ke semi pinggiran dan pinggiran. Masyarakat di negara pinggiran seperti Indonesia dan beberapa negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin terpaksa memasuki sistem masyarakat dunia yang didominasi oleh inti (Dunia Pertama) namun mereka masih tetap berada di pinggiran sistem, setidaknya dipandang dari sudut distribusi kekuasaan dan keuntungan ekonomi dunia (Chirot, 1977).
Selain mendorong pertumbuhan ekonomi, kapitalisme juga mendorong persaingan bebas di pasar sehingga untuk dapat menang di pasar, sebuah merek produk harus mengerahkan segala daya kreatif dan strategi pemasaran yang cerdik. Konsumen tidak lagi dihadapkan pada satu atau dua merek produk, tetapi ribuan merek yang berlomba merebut perhatian mereka. Itulah mengapa, di era pasar moderen yang hiper kompetitif terutama di negara-negara maju seperti Eropa, para pemasar maupun praktisi komunikasi pemasaran pun berlomba menciptakan cara-cara baru dalam mengomunikasikan merek produk agar konsumen tertarik. Perkembangan kreativitas iklan, selain memberi kontribusi ekonomis yang luar biasa bagi perkembangan media-media konvensional seperti televisi, radio, suratkabar dan majalah, juga membuka kemungkinan eksplorasi penggunaan media-media baru dan alternatif, seperti ambient media atau ambient advertising.
Sebagaimana diketahui, ambient advertising dikembangkan pertama kali di London, Inggris oleh sebuah biro iklan bernama Concord Advertising. Di tengah fenomena modernitas masyarakat Eropa yang ditandai berkembangnya teknologi-teknologi baru, gaya hidup moderen yang membuat masyarakat terjebak dalam rutinitas ketergesaan, ketidakpedulian (individualis), serta kian padatnya pesan-pesan produk di hampir setiap sudut tempat, ambient advertising hadir untuk menyita perhatian masyarakat di tempat-tempat yang tak terduga, tanpa “memaksa” mereka menyediakan waktu khusus untuk menikmati media sebagaimana terhadap media-media konvensional seperti televisi dan lain-lain.
Beberapa alasan yang melatarbelakangi perkembangan ambient advertising adalah:
- Seebagai bentuk penolakan terhadap dominasi kekuasaan media tradisional (konvensional)
- Kebutuhan untuk melakukan komunikasi di tempat penjualan (point-of-sales)
- Kemampuannya menjangkau target khalayak secara tepat (http://wikipedia.org)
Tak heran, ambient advertising menjadi “mainan baru” para praktisi komunikasi pemasaran dan kreatif periklanan. Salah satu contoh iklan ambient media atau ambient advertising adalah iklan sebuah produk mie spaghetti di Jerman yang menyimulasikan mie dengan tali tambang berwarna kuning yang sepintas mirip mie spaghetti yang sebenarnya.
Pada dinding sebuah kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan Hamburg, Jerman ditempeli stiker gambar wajah dengan ekspresi nikmat. Stiker tersebut dipasang sedemikian rupa dengan mulut gambar berada tepat di lubang saluran tali. Sehingga ketika tali ditarik dari dalam kapal, gambar seolah-olah sedang menghirup tali dengan nikmat, seperti nikmatnya mengonsumsi mie spaghetti Mondo Pasta, merek produk tersebut.

Gambar 1. Iklan ambient media di pelabuhan Hamburg, Jerman yang menyimulasikan kelezatan mie spaghetti merek Mondo Pasta (Sumber: www.ambient-planet.com)
Sementara di Indonesia, pada tahun 2006 sebuah contoh iklan layanan masyarakat ambient advertising bertema “helping hands” menampilkan tangan-tangan anak-anak yang mengambang di kolam bundaran HI Jakarta, seolah meminta pertolongan. Iklan tersebut disampaikan oleh lembaga pencari donor untuk anak-anak korban bencana tsunami Aceh. Tentu saja pesan yang ingin disampaikan untuk menggugah pengunjung yang melewati jalan di bundaran HI agar menyisihkan sebagian miliknya untuk membantu para korban dengan menyajikan pengalaman bagaimana rasanya melihat langsung anak-anak yang menjadi korban tsunami. Efek yang ditampilkan pasti berbeda jika pesan disampaikan melalui iklan di media konvensional seperti televisi dan suratkabar, yang mana khalayak hanya membayangkan keadaan para korban di tempat aslinya yang jauh. Iklan yang dibuat oleh biro iklan JWT ini berhasil memperoleh penghargaan di ajang lomba periklanan internasional.

Gambar 2. Iklan ambient media di kolam bundaran HI Jakarta dari lembaga pencari donor bagi anak-anak korban tsunami Aceh (Sumber: dok. JWT Indonesia)
Ambient advertising memang memiliki kekuatan menarik perhatian khalayak di sekitarnya dan cenderung lebih mudah menciptakan kepercayaan karena khalayak langsung “mengalami” isi pesan yang disampaikan. Julie Aveyard, Advertising Campaigns Manager perusahaan telekomunikasi BT Cellnet memaparkan pengalamannya di Majalah Marketing (2001) Inggris bahwa, “The essence of ambient advertising is about taking people by surprise and making our communication more relevant and credible.” (Terjemahan: kekuatan ambient advertising adalah memberi kejutan bagi orang-orang dan menjadikan komunikasi kami lebih relevan dan kredibel).
Sedangkan Richard Wier, Direktur HiTech Solutions menggambarkan ambient advertising sebagai medium yang tidak sekompleks media konvensional, namun lebih terjamin untuk dilihat pesannya oleh konsumen. Mike Baker, direktur pemasaran TDI London menyebut ambient advertising sebagai taktik yang tidak membutuhkan investasi besar-besaran namun memberikan dampak lebih diingat dan relevan (Marketing, London: 1997).
Keunikan dan keistimewaan ambient advertising tidak hanya pada eksekusi kreatifnya yang mampu menarik perhatian, sifat komunikasinya yang menyinergikan penyampaian pesan dengan pembuktian pesan sehingga khalayak dapat ‘mengalami’ atau merasakan langsung pesannya, tetapi juga mampu memberikan efek word of mouth dan publisitas yang luas karena menjadi bahan pembicaraan khalayak. Itulah mengapa, Alastair Ray dari Majalah Marketing London menyebut: “Ambient advertising used to be more PR than advertising, with firms striving to be the first brand to advertise in urinals and wheat fields in a bid to generate press coverage worth more than the campaign itself” (Terjemahan: ambient advertising kadang lebih cenderung menjalankan fungsi PR daripada periklanan, dengan menjadi merek pertama yang ditemukan secara unik di suatu tempat yang tidak biasa, maka akan mengundang liputan pers sehingga memberi efek lebih dari sekadar tujuan kampanyenya itu sendiri) (Marketing, London: 2001).
Fenomena ambient advertising yang awalnya muncul dan berkembang di Eropa sebagai konsekuensi logis perkembangan gaya hidup moderen di bawah payung kapitalisme, juga merambah periklanan negara-negara Dunia Ketiga atau pinggiran seperti Indonesia. Selain contoh iklan “helping hands” yang dibuat JWT di atas, cukup banyak iklan-iklan ambient lain yang dibuat oleh tenaga kreatif periklanan Indonesia. Hal ini semakin menegaskan tentang salah satu asumsi dalam teori modernisasi bahwa “masyarakat yang kurang maju harus mengikuti jalan yang sudah ditempuh oleh masyarakat yang lebih maju, mengikuti langkah yang sama, atau berdiri di tangga lebih rendah di eskalator yang sama”.
Apa yang menjadi tren di negara Barat, menjadi tren pula di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Tidak ada komentar: