Setelah krisis moneter 1997 dan bersamaan dengan proses reformasi negeri kita yang berjalan selama sepuluh tahun (1998-2007), beberapa tahun terakhir ini kita menyaksikan pergeseran warna promosi yang digelar para pemasar. Gaya promosi simpatik yang mengundang konsumen untuk terlibat dalam program kepedulian mulai diminati produsen, walau pun gebyar promosi dengan jor-joran hadiah masih sering bermunculan.
Promosi peduli semacam itu tampaknya menjadi pola baru. Produsen bukan saja berusaha menggaet pembeli, tapi sekaligus menanamkan citra dirinya sebagai perusahaan yang peduli terhadap problema di tengah-tengah masyarakat. Jadi promosi itu menjadi sarana kehumasan (public relations/PR) yang ampuh untuk merebut simpati di hati publik.
Salah satu program promosi simpatik yang bukan sekadar jualan, tapi turut berperan membantu mengatasi masalah sosial di negeri kita adalah Lifebuoy Berbagi Sehat (LBS). Pesan-pesan edukasinya memang masih terkait dengan manfaat produk untuk menjaga kebersihan, namun gerakan moral dan aksi nyata yang digulirkan berdampak positif untuk kesehatan masyarakat luas.
Iklan Bukan Cuma Bicara
Liputan majalah Mix no. 09/2004:42-43, “Bersih Pangkal Sehat, Sehat Pangkal Lifebuoy,” mengulas kampanye LBS sebagai program untuk berbagi citra dan memperlihatkan kepedulian sosial perusahaan. Lifebuoy menyisihkan Rp10,- dari setiap penjualan sabun selama Juli-Agustus 2004 untuk pengadaan sarana mandi, cuci dan kakus (MCK) dan air bersih. Dalam implementasi LBS bekerjasama dengan Ikatan Dokter Indonesia, KuIS (Koalisi untuk Indonesia Sehat), dan Yayasan Unilever Indonesia Peduli. Liputan lanjutan dalam Mix no. 10/2004:19, menggambarkan LBS sebagai program edukasi kesehatan pada masyarakat tentang pentingnya memiliki lingkungan yang bersih melalui sarana MCK.
LBS merupakan contoh penerapan konsep pemasaran berdimensi sosial (cause-related marketing), yakni program pemasaran yang diarahkan untuk memecahkan salah satu masalah di masyarakat yakni kebersihan atau kesehatan. Fokus bidang ini sangat sesuai dengan positioning Lifebuoy sebagai sabun kesehatan untuk keluarga.
Publikasi LBS terus berlanjut pada Cakram edisi 10/2005:18 yang mengungkap iklan lifebouy anak kecil kerja bakti mengantongi nilai penetrasi tertinggi (skor 8,4) dan berhasil menduduki peringkat pertama iklan paling efektif bulan September 2005. Ini berarti iklan tersebut mendapat perhatian tinggi dan temanya digemari masyarakat luas.
Program LBS mendahului kampanye mencuci tangan dengan sabun yang dilakukan KuIS atas bantuan teknis John Hopkins University dan didanai USAID. Sebagian kalangan mungkin menganggap kampanye ini sebagai hal “remeh tapi penuh tantangan” seperti diungkap Cakram edisi 12/2005:16-17. Program Kampanye yang meraih anugerah PR Week Award 2005 ini tak lepas dari hasil riset KuIS yang mengungkap 80% responden ternyata kurang memperhatikan perilaku sehat. Karena itu, kampanye yang dikemas agar menyatu dengan tradisi masyarakat lokal ini memdidik sasaran utama kalangan ibu-ibu. Tujuannya untuk membangun persepsi masyarakat bahwa cuci tangan dengan sabun sebagai kebiasaan hidup sehat.
Kebiasaan dan disiplin diri untuk hidup bersih yang tampak sederhana itu sebenarnya sangat mendasar, karena kebersihan adalah pangkal kesehatan dan berdampak pada sikap dan perilaku keseharian menjadi lebih baik. Bahkan bila kampanye hidup bersih ini dimaknai secara spiritual, berarti bersih dari dalam hati alias bersih batin, bukan hanya bersih lahir.
Bila ditelusuri lebih jauh, program LBS itu berbasis misi produk Lifebuoy yakni “untuk berperan langsung meningkatkan kualitas hidup keluarga Indonesia, khususnya kesehatan,” seperti dikemukakan Elfi Emilia Zurfiana Senior Brand Manager Lifebuoy pada majalah Mix no. 01/2007:26-27. Mengingat merek Lifebuoy telah hadir lebih dari 55 tahun di Indonesia dan sebagai pemuka pasar, maka terasa wajar menerapkan konsep pemasaran berbasis misi (mission marketing), meski ini merupakan suatu pilihan yang jarang ditempuh pemain baru.
Keseriusan dan konsistensi LBS bisa dicermati dari empat jurus yang diungkap Elfi (lihat rangkuman pada tabel) untuk meluruskan pandangan kalangan jurnalis yang terkadang menganggap aktivitas merek hanya komersial melulu. Ia mengakui publikasi media menjadi kunci sukses program LBS yang meraih penghargaan PR of the Year 2006 yang digelar majalah Mix dan memboyong empat penghargaan sekaligus yaitu: Overall, Objective, Strategy, dan Execution untuk kategori Product Brand PR.
Empat Jurus Lifebuoy Berbagi Sehat
no
Jurus/strategi
uraian singkat
1.
Pesan kunci (key message) yang jelas
Konsistensi pesan utama melalui keseluruhan rangkaian kampanye untuk menyuarakan misi sosial tentang pentingnya memiliki lingkungan yang bersih dan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun
2.
Menggandeng influencers dari berbagai unsur
Mitra dari kalangan pemerintah, para pakar, lembaga swadaya masyarakat seperti KuIS dan Nurani Dunia
3.
Menggunakan data ilmiah dan terpercaya
Dukungan data dari pihak yang kompeten seperti Statistik Diare dari Dinas Kesehatan atau hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) dan KuIS
4.
Kesinambungan program LBS (sustainability)
Program LBS yang berkelanjutan, bukan insidental atau ad-hoc. Serial program kini telah mencapai empat tahun
Sumber: majalah Mix no. 01/2007:26-27 (wawancara Elfi E. Zurfiana Senior Brand Manager Lifebuoy).
Pada 2007 juga muncul iklan layanan masyarakat LBS dengan visual lima orang bersikap masa bodoh terhadap sampah yang berserakan di jalan sebenarnya menggugah kita untuk lebih peduli pada masalah kebersihan. Narasi iklan itu mengimbau, “Sebenarnya Anda bisa berbuat lebih banyak daripada mereka. Sehat ada di tangan kita, ayo turun tangan!” Ajakan itu disampaikan juga melalui iklan komersial TV (TCV) Lifebuoy: ”Kalau bicara aja sih tidak akan bisa bikin perubahan…” begitu suara anak terdengar dilanjutkan dengan visual aktivitas menjaga kebersihan. Kampanye Lifebuoy memang bukan hanya bicara, namun berujung pada aksi nyata.
Iklan LBS itu mengingatkan kita pada iklan-iklan yang tidak menawarkan produk, tapi berisi nada himbauan, ucapan selamat, pembelaan, atau menunjukan sikap peduli terhadap problema yang dihadapi masyarakat. Iklan yang dikemas dengan unsur edukasi dan berupaya menarik simpati publik itu kini mulai bertaburan di antara ramainya iklan-iklan produk.
Iklan yang dikeluarkan perusahaan untuk menanamkan suatu ide, citra atau kesan tertentu disebut iklan korporat. Namun, bisa saja pesan itu disampaikan melalui iklan produk. Karena ada suatu organisasi atau lembaga yang mengeluarkan, maka dikenal sebagai iklan institusi (instititional ad). Tapi mengingat tujuannya untuk membangun dan memantapkan citra, lalu dinamakan iklan citra (image advertising). Dilihat dari pesan yang disampaikan bersifat pelayanan atau pendidikan, imbauan, atau pembelaan, sehingga disebut iklan layanan masyarakat (ILM) dan iklan anjuran atau pembelaan (advocacy ad).
Fungi iklan semacam itu bukan untuk mengenalkan produk, apalagi membujuk orang untuk membeli. Tapi arahnya sebagai alat kehumasan (public relations/PR) untuk memantapkan citra perusahaan atau memperkuat iklan-iklan produk yang ditawarkan perusahaan. Lebih dari itu, ILM dan iklan pembelaan terkadang digunakan untuk membentuk opini pada kalangan tertentu, misal investor, pialang saham, pejabat pemerintah, mitra usaha, eksekutif dan para profesional, atau khalayak spesifik.
Program LBS memang bukan sekadar imbauan lewat iklan, namun sebuah edukasi panjang yang diupayakan terintegrasi mulai dari iklan anak kerja bakti, kampanye cuci tangan dengan sabun, bahkan pada 2007 diselenggarakan Lifebouy Health Camp sebagai penutup rangkaian Lifebouy berbagi sehat seperti disajikan dalam majalah Mix edisi 10/2007.
Bila dicermati lebih mendalam, program Lifebuoy Berbagi Sehat (LBS) sebenarnya bukan hanya kampanye produk, namun membawa nama baik Unilever sebagai perusahaan yang memayunginya. Secara internal ternyata terjadi transformasi PR seperti dipaparkan oleh Leila Djafaar, Head of Corporate Communications Unilever pada majalah Mix no. 04/2006:63. Menurutnya, semua karyawan menjadi duta perusahaan. Bila dulu lebih berorientasi produksi dan pemasaran, kini untuk mencapai target bisnis melengkapinya dengan PR. Perubahan kultur dalam kaitan berhubungan dengan media atau publik pun terjadi terutama sejak Maret 2003 dari tertutup dan takut, menjadi lebih transparan dan bersahabat.
Posisi strategis iklan korporat atau produk yang berjiwa sosial semacam iklan LBS bisa ditinjau dari kerangka yang dikemukakan Belch & Belch, 2007:563-568 yang membagi iklan korporat (corporate advertising) menjadi empat kategori yaitu: image advertising, event sponsorship, advocacy advertising, dan cause-related advertising. Semua iklan itu diposisikan dalam konteks upaya perusahaan untuk membangun citra dan reputasi, meneguhkan sikap terhadap suatu masalah sosial, atau mengundang keterlibatan masyarakat. Kampanye LBS bukan hanya mengharumkan nama Lifebuoy, tapi di mata sebagian kalangan aktivis, pembentuk opini publik, profesional, dan pejabat, program itu dianggap sebagai wujud kepedulian Unilever terhadap bangsa ini.
Belanja dan Berderma
Gaya pemasaran Lifebuoy yang berdimensi sosial dan empatik itu melibatkan konsumen untuk berpartisipasi, mengajak konsumen untuk menyumbang sambil membeli produk. Warna promosi yang melibatkan konsumen agar merogoh kocek untuk belanja sekaligus berderma demi kemanusiaan atau mengatasi masalah sosial ini makin populer. Perusahaan menerapkan pemasaran berdimensi sosial (cause-related marketing/CRM) dengan menyisihkan sebagian dana dari penjualan atau laba untuk membantu memecahkan problema sosial.
Beberapa promosi CRM bukan saja membebaskan perusahaan untuk menyediakan dana promosi tambahan, tapi malah meraup dana melalui konsumen. Tapi, dana promosi yang dihimpun digunakan untuk menunjukan langkah PR yang peduli. Gaya promosi simpatik semacam itu banyak diterapkan pada era 2000-an. Menjelang akhir 2005 misalnya, Indosat dan Telkom menyisihkan dana dari setiap sambungan telepon untuk disumbangkan kepada masyarakat yang kurang beruntung. Demikian juga Morinaga Peduli Sahabat mengimbau konsumen agar mengumpulkan mainan bekas untuk disumbangkan kepada anak-anak warga miskin. Program Morinaga ini mirip dengan Rinso Kasih yang mengimbau masyarakat untuk menyumbang pakaian bekas laik pakai, lalu dicuci dulu dengan Rinso sebelum disalurkan kepada warga yang membutuhkan.
Disertasi Dr. M. Gunawan Alif, Pemred majalah Cakram yang saya ulas pada majalah alumni ESQ, Nebula no. 03/2007:120-121 memaparkan beberapa contoh CRM dari produk Grup Tempo, perusahaan farmasi yang merayakan ulang tahun ke-50 pada Oktober 2003. Perusahaan menyisihkan Rp50,- dari setiap penjualan produk Hemaviton, Neo-rheumacyl, Bodrex, Bodrexin, dan Marina. Dana yang terkumpul disalurkan melalui Depdiknas sebagai beasiswa bagi para mahasiswa yang sedang menyusun tugas akhir dan kesulitan biaya.
Setahun kemudian, Grup Tempo menyisihkan Rp25,- dari setiap penjualan rangkaian produk Hemaviton periode 12 Oktober hingga 12 November 2004. Dana yang terkumpul disumbangkan untuk korban tragedi bom di Kuta Bali, Hotel JW Marriot dan depan Kedubes Australia.
Lain lagi cara Pfizer mengundang keterlibatan pendengar supaya mengirim SMS melalui acara radio yang disponsori perusahaan agar mereka menyimak pesan-pesan sponsor. Setiap SMS dari pendengar, perusahaan menyumbang Rp10.000,- untuk riset tentang AIDS oleh FKUI. Total dana yang disihkan sebesar Rp200 juta pada 2003.
Gaya promosi yang mengetuk hati nurani konsumen ini menjadi warna tersendiri di antara gebyar hadiah yang ditawarkan perusahaan. Promosi jenis ini penting untuk variasi, karena kita bisa memilah dan mengukur berapa besar konsumen yang loyal kepada produk yang memiliki kepedulian sosial atau membeli bukan karena hadiah semata. Selain itu, menjadi ajang promosi simpatik guna menjaring konsumen yang mau membeli sekalian beramal.
Kini, sebaiknya Anda berani mencoba berpromosi simpatik!
Posisi strategis iklan korporat atau produk yang berjiwa sosial semacam iklan LBS bisa ditinjau dari kerangka yang dikemukakan Belch & Belch, 2007:563-568 yang membagi iklan korporat (corporate advertising) menjadi empat kategori yaitu: image advertising, event sponsorship, advocacy advertising, dan cause-related advertising. Semua iklan itu diposisikan dalam konteks upaya perusahaan untuk membangun citra dan reputasi, meneguhkan sikap terhadap suatu masalah sosial, atau mengundang keterlibatan masyarakat. Kampanye LBS bukan hanya mengharumkan nama Lifebuoy, tapi di mata sebagian kalangan aktivis, pembentuk opini publik, profesional, dan pejabat, program itu dianggap sebagai wujud kepedulian Unilever terhadap bangsa ini.
Petikan Harmoni 19
Pola baru promosi simpatik yang mengundang konsumen untuk terlibat dalam program kepedulian kini mulai diminati produsen. Promosi itu menjadi sarana edukasi dan kehumasan (public relations/PR) yang ampuh untuk merebut simpatik publik, karena selain berusaha menggaet pembeli, sekaligus menanamkan citra perusahaan yang peduli terhadap problema sosial.
Program Lifebuoy Berbagi Sehat (LBS) sebenarnya bukan hanya kampanye produk, namun membawa nama baik Unilever, sebuah edukasi yang terintegrasi mulai dari iklan anak kerja bakti, kampanye cuci tangan dengan sabun, hingga Lifebuoy Health Camp.
Gaya promosi yang mengetuk hati nurani konsumen ini menjadi warna tersendiri di antara gebyar iming-iming hadiah yang ditawarkan perusahaan. Promosi jenis ini penting untuk memilah loyalitas konsumen yang membeli bukan karena hadiah semata.
Promosi peduli semacam itu tampaknya menjadi pola baru. Produsen bukan saja berusaha menggaet pembeli, tapi sekaligus menanamkan citra dirinya sebagai perusahaan yang peduli terhadap problema di tengah-tengah masyarakat. Jadi promosi itu menjadi sarana kehumasan (public relations/PR) yang ampuh untuk merebut simpati di hati publik.
Salah satu program promosi simpatik yang bukan sekadar jualan, tapi turut berperan membantu mengatasi masalah sosial di negeri kita adalah Lifebuoy Berbagi Sehat (LBS). Pesan-pesan edukasinya memang masih terkait dengan manfaat produk untuk menjaga kebersihan, namun gerakan moral dan aksi nyata yang digulirkan berdampak positif untuk kesehatan masyarakat luas.
Iklan Bukan Cuma Bicara
Liputan majalah Mix no. 09/2004:42-43, “Bersih Pangkal Sehat, Sehat Pangkal Lifebuoy,” mengulas kampanye LBS sebagai program untuk berbagi citra dan memperlihatkan kepedulian sosial perusahaan. Lifebuoy menyisihkan Rp10,- dari setiap penjualan sabun selama Juli-Agustus 2004 untuk pengadaan sarana mandi, cuci dan kakus (MCK) dan air bersih. Dalam implementasi LBS bekerjasama dengan Ikatan Dokter Indonesia, KuIS (Koalisi untuk Indonesia Sehat), dan Yayasan Unilever Indonesia Peduli. Liputan lanjutan dalam Mix no. 10/2004:19, menggambarkan LBS sebagai program edukasi kesehatan pada masyarakat tentang pentingnya memiliki lingkungan yang bersih melalui sarana MCK.
LBS merupakan contoh penerapan konsep pemasaran berdimensi sosial (cause-related marketing), yakni program pemasaran yang diarahkan untuk memecahkan salah satu masalah di masyarakat yakni kebersihan atau kesehatan. Fokus bidang ini sangat sesuai dengan positioning Lifebuoy sebagai sabun kesehatan untuk keluarga.
Publikasi LBS terus berlanjut pada Cakram edisi 10/2005:18 yang mengungkap iklan lifebouy anak kecil kerja bakti mengantongi nilai penetrasi tertinggi (skor 8,4) dan berhasil menduduki peringkat pertama iklan paling efektif bulan September 2005. Ini berarti iklan tersebut mendapat perhatian tinggi dan temanya digemari masyarakat luas.
Program LBS mendahului kampanye mencuci tangan dengan sabun yang dilakukan KuIS atas bantuan teknis John Hopkins University dan didanai USAID. Sebagian kalangan mungkin menganggap kampanye ini sebagai hal “remeh tapi penuh tantangan” seperti diungkap Cakram edisi 12/2005:16-17. Program Kampanye yang meraih anugerah PR Week Award 2005 ini tak lepas dari hasil riset KuIS yang mengungkap 80% responden ternyata kurang memperhatikan perilaku sehat. Karena itu, kampanye yang dikemas agar menyatu dengan tradisi masyarakat lokal ini memdidik sasaran utama kalangan ibu-ibu. Tujuannya untuk membangun persepsi masyarakat bahwa cuci tangan dengan sabun sebagai kebiasaan hidup sehat.
Kebiasaan dan disiplin diri untuk hidup bersih yang tampak sederhana itu sebenarnya sangat mendasar, karena kebersihan adalah pangkal kesehatan dan berdampak pada sikap dan perilaku keseharian menjadi lebih baik. Bahkan bila kampanye hidup bersih ini dimaknai secara spiritual, berarti bersih dari dalam hati alias bersih batin, bukan hanya bersih lahir.
Bila ditelusuri lebih jauh, program LBS itu berbasis misi produk Lifebuoy yakni “untuk berperan langsung meningkatkan kualitas hidup keluarga Indonesia, khususnya kesehatan,” seperti dikemukakan Elfi Emilia Zurfiana Senior Brand Manager Lifebuoy pada majalah Mix no. 01/2007:26-27. Mengingat merek Lifebuoy telah hadir lebih dari 55 tahun di Indonesia dan sebagai pemuka pasar, maka terasa wajar menerapkan konsep pemasaran berbasis misi (mission marketing), meski ini merupakan suatu pilihan yang jarang ditempuh pemain baru.
Keseriusan dan konsistensi LBS bisa dicermati dari empat jurus yang diungkap Elfi (lihat rangkuman pada tabel) untuk meluruskan pandangan kalangan jurnalis yang terkadang menganggap aktivitas merek hanya komersial melulu. Ia mengakui publikasi media menjadi kunci sukses program LBS yang meraih penghargaan PR of the Year 2006 yang digelar majalah Mix dan memboyong empat penghargaan sekaligus yaitu: Overall, Objective, Strategy, dan Execution untuk kategori Product Brand PR.
Empat Jurus Lifebuoy Berbagi Sehat
no
Jurus/strategi
uraian singkat
1.
Pesan kunci (key message) yang jelas
Konsistensi pesan utama melalui keseluruhan rangkaian kampanye untuk menyuarakan misi sosial tentang pentingnya memiliki lingkungan yang bersih dan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun
2.
Menggandeng influencers dari berbagai unsur
Mitra dari kalangan pemerintah, para pakar, lembaga swadaya masyarakat seperti KuIS dan Nurani Dunia
3.
Menggunakan data ilmiah dan terpercaya
Dukungan data dari pihak yang kompeten seperti Statistik Diare dari Dinas Kesehatan atau hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) dan KuIS
4.
Kesinambungan program LBS (sustainability)
Program LBS yang berkelanjutan, bukan insidental atau ad-hoc. Serial program kini telah mencapai empat tahun
Sumber: majalah Mix no. 01/2007:26-27 (wawancara Elfi E. Zurfiana Senior Brand Manager Lifebuoy).
Pada 2007 juga muncul iklan layanan masyarakat LBS dengan visual lima orang bersikap masa bodoh terhadap sampah yang berserakan di jalan sebenarnya menggugah kita untuk lebih peduli pada masalah kebersihan. Narasi iklan itu mengimbau, “Sebenarnya Anda bisa berbuat lebih banyak daripada mereka. Sehat ada di tangan kita, ayo turun tangan!” Ajakan itu disampaikan juga melalui iklan komersial TV (TCV) Lifebuoy: ”Kalau bicara aja sih tidak akan bisa bikin perubahan…” begitu suara anak terdengar dilanjutkan dengan visual aktivitas menjaga kebersihan. Kampanye Lifebuoy memang bukan hanya bicara, namun berujung pada aksi nyata.
Iklan LBS itu mengingatkan kita pada iklan-iklan yang tidak menawarkan produk, tapi berisi nada himbauan, ucapan selamat, pembelaan, atau menunjukan sikap peduli terhadap problema yang dihadapi masyarakat. Iklan yang dikemas dengan unsur edukasi dan berupaya menarik simpati publik itu kini mulai bertaburan di antara ramainya iklan-iklan produk.
Iklan yang dikeluarkan perusahaan untuk menanamkan suatu ide, citra atau kesan tertentu disebut iklan korporat. Namun, bisa saja pesan itu disampaikan melalui iklan produk. Karena ada suatu organisasi atau lembaga yang mengeluarkan, maka dikenal sebagai iklan institusi (instititional ad). Tapi mengingat tujuannya untuk membangun dan memantapkan citra, lalu dinamakan iklan citra (image advertising). Dilihat dari pesan yang disampaikan bersifat pelayanan atau pendidikan, imbauan, atau pembelaan, sehingga disebut iklan layanan masyarakat (ILM) dan iklan anjuran atau pembelaan (advocacy ad).
Fungi iklan semacam itu bukan untuk mengenalkan produk, apalagi membujuk orang untuk membeli. Tapi arahnya sebagai alat kehumasan (public relations/PR) untuk memantapkan citra perusahaan atau memperkuat iklan-iklan produk yang ditawarkan perusahaan. Lebih dari itu, ILM dan iklan pembelaan terkadang digunakan untuk membentuk opini pada kalangan tertentu, misal investor, pialang saham, pejabat pemerintah, mitra usaha, eksekutif dan para profesional, atau khalayak spesifik.
Program LBS memang bukan sekadar imbauan lewat iklan, namun sebuah edukasi panjang yang diupayakan terintegrasi mulai dari iklan anak kerja bakti, kampanye cuci tangan dengan sabun, bahkan pada 2007 diselenggarakan Lifebouy Health Camp sebagai penutup rangkaian Lifebouy berbagi sehat seperti disajikan dalam majalah Mix edisi 10/2007.
Bila dicermati lebih mendalam, program Lifebuoy Berbagi Sehat (LBS) sebenarnya bukan hanya kampanye produk, namun membawa nama baik Unilever sebagai perusahaan yang memayunginya. Secara internal ternyata terjadi transformasi PR seperti dipaparkan oleh Leila Djafaar, Head of Corporate Communications Unilever pada majalah Mix no. 04/2006:63. Menurutnya, semua karyawan menjadi duta perusahaan. Bila dulu lebih berorientasi produksi dan pemasaran, kini untuk mencapai target bisnis melengkapinya dengan PR. Perubahan kultur dalam kaitan berhubungan dengan media atau publik pun terjadi terutama sejak Maret 2003 dari tertutup dan takut, menjadi lebih transparan dan bersahabat.
Posisi strategis iklan korporat atau produk yang berjiwa sosial semacam iklan LBS bisa ditinjau dari kerangka yang dikemukakan Belch & Belch, 2007:563-568 yang membagi iklan korporat (corporate advertising) menjadi empat kategori yaitu: image advertising, event sponsorship, advocacy advertising, dan cause-related advertising. Semua iklan itu diposisikan dalam konteks upaya perusahaan untuk membangun citra dan reputasi, meneguhkan sikap terhadap suatu masalah sosial, atau mengundang keterlibatan masyarakat. Kampanye LBS bukan hanya mengharumkan nama Lifebuoy, tapi di mata sebagian kalangan aktivis, pembentuk opini publik, profesional, dan pejabat, program itu dianggap sebagai wujud kepedulian Unilever terhadap bangsa ini.
Belanja dan Berderma
Gaya pemasaran Lifebuoy yang berdimensi sosial dan empatik itu melibatkan konsumen untuk berpartisipasi, mengajak konsumen untuk menyumbang sambil membeli produk. Warna promosi yang melibatkan konsumen agar merogoh kocek untuk belanja sekaligus berderma demi kemanusiaan atau mengatasi masalah sosial ini makin populer. Perusahaan menerapkan pemasaran berdimensi sosial (cause-related marketing/CRM) dengan menyisihkan sebagian dana dari penjualan atau laba untuk membantu memecahkan problema sosial.
Beberapa promosi CRM bukan saja membebaskan perusahaan untuk menyediakan dana promosi tambahan, tapi malah meraup dana melalui konsumen. Tapi, dana promosi yang dihimpun digunakan untuk menunjukan langkah PR yang peduli. Gaya promosi simpatik semacam itu banyak diterapkan pada era 2000-an. Menjelang akhir 2005 misalnya, Indosat dan Telkom menyisihkan dana dari setiap sambungan telepon untuk disumbangkan kepada masyarakat yang kurang beruntung. Demikian juga Morinaga Peduli Sahabat mengimbau konsumen agar mengumpulkan mainan bekas untuk disumbangkan kepada anak-anak warga miskin. Program Morinaga ini mirip dengan Rinso Kasih yang mengimbau masyarakat untuk menyumbang pakaian bekas laik pakai, lalu dicuci dulu dengan Rinso sebelum disalurkan kepada warga yang membutuhkan.
Disertasi Dr. M. Gunawan Alif, Pemred majalah Cakram yang saya ulas pada majalah alumni ESQ, Nebula no. 03/2007:120-121 memaparkan beberapa contoh CRM dari produk Grup Tempo, perusahaan farmasi yang merayakan ulang tahun ke-50 pada Oktober 2003. Perusahaan menyisihkan Rp50,- dari setiap penjualan produk Hemaviton, Neo-rheumacyl, Bodrex, Bodrexin, dan Marina. Dana yang terkumpul disalurkan melalui Depdiknas sebagai beasiswa bagi para mahasiswa yang sedang menyusun tugas akhir dan kesulitan biaya.
Setahun kemudian, Grup Tempo menyisihkan Rp25,- dari setiap penjualan rangkaian produk Hemaviton periode 12 Oktober hingga 12 November 2004. Dana yang terkumpul disumbangkan untuk korban tragedi bom di Kuta Bali, Hotel JW Marriot dan depan Kedubes Australia.
Lain lagi cara Pfizer mengundang keterlibatan pendengar supaya mengirim SMS melalui acara radio yang disponsori perusahaan agar mereka menyimak pesan-pesan sponsor. Setiap SMS dari pendengar, perusahaan menyumbang Rp10.000,- untuk riset tentang AIDS oleh FKUI. Total dana yang disihkan sebesar Rp200 juta pada 2003.
Gaya promosi yang mengetuk hati nurani konsumen ini menjadi warna tersendiri di antara gebyar hadiah yang ditawarkan perusahaan. Promosi jenis ini penting untuk variasi, karena kita bisa memilah dan mengukur berapa besar konsumen yang loyal kepada produk yang memiliki kepedulian sosial atau membeli bukan karena hadiah semata. Selain itu, menjadi ajang promosi simpatik guna menjaring konsumen yang mau membeli sekalian beramal.
Kini, sebaiknya Anda berani mencoba berpromosi simpatik!
Posisi strategis iklan korporat atau produk yang berjiwa sosial semacam iklan LBS bisa ditinjau dari kerangka yang dikemukakan Belch & Belch, 2007:563-568 yang membagi iklan korporat (corporate advertising) menjadi empat kategori yaitu: image advertising, event sponsorship, advocacy advertising, dan cause-related advertising. Semua iklan itu diposisikan dalam konteks upaya perusahaan untuk membangun citra dan reputasi, meneguhkan sikap terhadap suatu masalah sosial, atau mengundang keterlibatan masyarakat. Kampanye LBS bukan hanya mengharumkan nama Lifebuoy, tapi di mata sebagian kalangan aktivis, pembentuk opini publik, profesional, dan pejabat, program itu dianggap sebagai wujud kepedulian Unilever terhadap bangsa ini.
Petikan Harmoni 19
Pola baru promosi simpatik yang mengundang konsumen untuk terlibat dalam program kepedulian kini mulai diminati produsen. Promosi itu menjadi sarana edukasi dan kehumasan (public relations/PR) yang ampuh untuk merebut simpatik publik, karena selain berusaha menggaet pembeli, sekaligus menanamkan citra perusahaan yang peduli terhadap problema sosial.
Program Lifebuoy Berbagi Sehat (LBS) sebenarnya bukan hanya kampanye produk, namun membawa nama baik Unilever, sebuah edukasi yang terintegrasi mulai dari iklan anak kerja bakti, kampanye cuci tangan dengan sabun, hingga Lifebuoy Health Camp.
Gaya promosi yang mengetuk hati nurani konsumen ini menjadi warna tersendiri di antara gebyar iming-iming hadiah yang ditawarkan perusahaan. Promosi jenis ini penting untuk memilah loyalitas konsumen yang membeli bukan karena hadiah semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar